CERPEN
Aku, Edo, Evan, dan Nino setiap sore
selalu bermain di pinggir sawah. Kami paling senang bermain perang-perangan dan membuat senjata dari bambu. Selain itu, kami juga
suka menangkap belut yang ada di sawah. Kami bersepeda menuju ke sawah yang
sebenarnya tak terlalu jauh dari rumah kami. Aku selalu membonceng Evan setiap
kali kami pergi ke sawah. Sebab aku belum memiliki sepeda sendiri.
Dulu pernah aku meminta
sepeda kepada ayahku. Tapi ayah
selalu menjawab bahwa beliau belum punya uang untuk itu. Ya... aku memang harus bersabar. Kebutuhan
kami akhir-akhir ini memang banyak. Terlebih adikku, Leo, yang akan masuk kelas satu sekolah dasar sebentar lagi.
”Kau tak ajak adikmu main
bersama nanti sore?” tanya Edo ketika kami sedang duduk-duduk di kantin sambil
menikmati camilan yang kami beli.
”Aku sebenarnya ingin
mengajak Leo. Tapi masa dia harus jalan kaki sendiri sementara kita naik sepeda. Sepeda yang ada
boncengannya kan cuma milikmu,
Van,” jelasku pada Evan.
Evan ketawa. “Jelas cuma
punyaku yang ada boncengannya. Sebab hanya aku yang memakai sepeda ontel.”
“Tetap saja Leo tak dapat
kuajak,”
”Tapi kan dia sangat
ingin ikut bersama kita. Kasihan kan, Mon,” kata Edo padaku.
”Baiklah nanti akan ku
ajak dia. Aku akan jalan kaki menuju ke sawah bersamanya. Kalian nanti duluan
saja,” janjiku pada mereka.
Sebenarnya Leo memang
sudah beberapa kali ingin ikut bermain bersama kami. Hanya saja aku belum punya
sepeda untuk mengajaknya. Alasan yang tak masuk akal sih. Maksudku sih supaya
Leo tak capek. Dia kan bisa aku bonceng. Tak harus berjalan kaki. Begitu!
Ketika selesai mandi, aku
segera menghampiri Leo yang sedang asyik menonton acara kartun di televisi. Aku
duduk di sampingnya.
”Mau ikut kakak ke sawah
sekarang?” tanyaku padanya.
Leo berpaling ke arahku.
”Boleh?”
Aku mengangguk sambil
tersenyum. Maka kami pun segera menuju ke sawah. Ketika kami tiba di sawah,
Edo, Evan, dan Nino sudah asyik bermain di sana. Aku dan Leo segera menuju ke
arah mereka.
”Hei!” panggil Evan
sambil melambaikan tangannya ke arah kami.
Kami segera berlari ke
arah mereka.
”Nah gitu dong. Sebagai
kakak yang baik, mengajak adiknya
untuk bermain juga,” goda Evan sambil melemparkan sebuah bambu kecil ke arahku.
Aku berhasil menangkisnya.
Aku dan Leo langsung membuat senjata kami dari bambu. Dan tak lama kemudian. Kami pun sudah main perang-perangan. Hingga
waktu sudah menujukkan pukul lima sore. Waktunya kami untuk segera pulang ke
rumah.
***
Hari ini adalah hari
Sabtu. Sebenarnya hari spesial bagiku. Tapi kok ya belum ada yang ngasih ucapan
selamat padaku ya? Hari ini adalah
hari ulang tahunku. Ya.. aku tak terlalu berharap sih.
Ketika aku melangkahkan
kaki menuju gerbang sekolah saat sekolah sudah
usai, Edo, Evan, dan Nino tak
nampak. Padahal tadi kami bersama-sama. Eh, tiba-tiba saja mereka menghilang. Aku pun pulang sendiri tanpa mereka.
Ketika aku sudah tiba di
rumah. Hal aneh lagi-lagi
terjadi. Rumah yang biasanya ada ibu dan adik yang sudah lebih dulu pulang
sekolah kini tampak sepi dan
begitu lengang. Aku pun memutuskan untuk makan siang.
”Kemana sih
orang-orang?” tanyaku pada diri sendiri.
Setelah makan siang aku
memutuskan untuk menonton acara televisi. Sebenarnya tak ada yang ingin kutonton.
Tapi daripada bosan nggak ngapa-ngapain. Selama kurang lebih satu jam aku hanya
menonton televisi. Ibu dan Leo belum juga pulang. Tak terasa aku pun tertidur
di sofa ruang keluarga.
”Kak, mandi sudah sore. Kak Simon!”
Samar-samar aku mendengar
suara Leo. Aku mencoba untuk membuka kedua mataku yang semula tertutup. Ternyata
memang benar si Leo. Dia mengguncang-guncang tubuhku. Aku pun menggeliat dan bangun terduduk.
“Darimana tadi kau sama
Ibu?” tanyaku sambil mengucek-ngucek mataku.
“Pergi sebentar ke toko,”
jawabnya, “ayo mandi, Kak. Ibu ingin bicara dengan kakak setelah kakak mandi.”
Aku menoleh ke kanan dan
ke kiri untuk mencari sosok Ibuku. ”Mana Ibu?”
”Kakak mandilah dulu,”
perintahnya.
Aku pun segera mandi.
Setelah badanku segar kembali, aku segera mencari keberadaan Ibuku. Di dapur
tak ada, di ruang tamu juga tak ada. Kemana lagi orang-orang?
Kulangkahkan kakiku
menuju ke samping rumah di mana garasiku berada. Dan...
”SELAMAT ULANG
TAHUN!!!!!!”
Terdengar suara yang
begitu riuhnya. Aku terkaget. Ternyata di garasi sudah banyak sekali orang. Ada Ibu, Ayah, Leo, Edo, Evan, Nino, dan
beberapa temanku yang lain. Di tengah-tengah mereka ada sebuah sepeda BMX yang
masih baru. Wow!
“Selamat ulang tahun,
Simon,” ucap ibu sambil memelukku.
“Terima kasih semuanya.
Kupikir kalian lupa ulang tahunku,” ucapku sambil tersenyum senang.
“Ini hadiah dari ayah dan
ibu. Kau senang?” kata ayah
sambil menunjukkan sepeda BMX itu padaku.
Aku berjalan menuju ke
sepeda tersebut. Aku pun mencoba menaikinya. ”Sungguh menyenangkan. Terima
kasih banyak ayah... ibu.”
”Ini hadiah dariku,” kata
Leo sambil memberiku sebuah helm sepeda.
”Keren!” ujarku.
Semua tertawa melihat
tingkahku yang mendadak kembali menjadi anak berumur lima tahun lagi. Tapi aku
tak peduli itu. Sebab ternyata hari ini adalah hari spesialku. Sungguh menyenangkan sekali. Semua bertepuk
tangan sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun padaku. Ada sebuah kue tart
berwarna coklat dan lilin yang berjumlah sebelas buah. Aku pun segera meniupnya
setelah memanjatkan doa pada Tuhan.
”Kami juga membawakan
kado untukmu. Sudah kami taruh di atas meja belajarmu,” kata Nino.
”Terima kasih,
teman-teman. Tapi mengapa kalian tadi tiba-tiba menghilang?” ucapku.
”Kami beli kado untukmu,
Simon. Maaf ya sudah membuatmu bingung,” jelas Edo sambil menepuk bahuku pelan.
”Iya, aku tidak marah kok,” kataku.
Terima kasih orang tuaku
dan adikku. Terima kasih teman-temanku. Terima kasih karena kini aku telah memiliki sepeda. Sepeda BMX
seperti impianku. Terima kasih semua! Aku sangat senang dan bahagia.
Penulis: Yuna
Chan